Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Diskusi Toleransi : Contoh dan Risiko Yang Ditanggung Jika Gagal Mencerna Informasi

Di tulisan ini mungkin tidak seperti biasanya karena saya tidak membahas filsafat maupun biografi atau pemikiran para filsuf, melainkan membahas tentang opini dan kritik sosial yang ramai beberapa tahun belakangan, terkait tanggapan publik terkait informasi yang beredar dengan tanpa upaya verifikasi kejelasan dari sebuah informasi.


Nah contoh pertama ialah yang belum terlalu begitu lama yakni, Video viral para santri calon hafidz "penghafal Al-Qur'an" yang di jemput ke tempat vaksinasi, dan berhubung pada saat antri vaksinasi di lokasi tersebut sementara di hidupkan musik dan para santri calon hafidz secara bersamaan menutup telinganya.

Bukanlah masyarakat medsos indonesia kalaulah tidak pandai mengutarakan pendapatnya bagaikan singa, banyak respon yang datang tentunya dari berbagai pihak dan pada akhirnya memunculkan pro-kontra dari kalangan netizen, video tersebut juga menuai pendapat dari beberapa tokoh publik yang melengkapi pro-kontra yang mengangkat isu toleransi. Dimana sebagian orang yang kontra menganggap tindakan para santri dengan menutup telinga tidak toleran terhadap musik.

Nah sekarang mari kita lihat apakah tindakan yang dilakukan oleh santri itu toleransi atau tidak?

Mungkin pandangan yang menilai santri intoleran ini dipengaruhi streotipe masyarakat pada umumnya yang melihat agama Islam sebagai agama yang anti terhadap kemajuan, karena begitu maraknya perdebatan perihal haram halalnya musik. Padahal persoalan musik sendiri telah diakui sebagai persoalan khilafiyah, yang dimana persoalan musik dikembalikan kepada masing-masing orang, dengan anjuran boleh mendengarkan musik selama hal itu baik dan bermanfaat bagi orang itu.

Berkaitan dengan tuduhan sikap para santri yang anti terhadap musik dan tidak menghargai hak orang lain untuk mendengar musik di lokasi tersebut. Menurut saya, tuduhan terhadap para santri tidak toleran adalah argumen yang keliru, karena mereka para santri tidak memprotes meminta panitia penyelenggara vaksinasi untuk mematikan musik, malahan yang dilakukan adalah menutup telinga demi menjaga toleransi kepada orang lain yang ingin mendengarkan musik.

Selebihnya hal dasar yang dilupakan oleh para pengkritik ialah para santri adalah orang yang memiliki hak untuk mendengarkan musik atau tidaknya yang harus dihargai. Persoalan menutup telinga dan kenapa tidak memilih untuk keluar menjauhi ruangan, semua itu karena mereka berada situasi antrean yang tidak bisa ditinggal pergi. Bagi saya Seharusnya pertanyaannya dibalik, kenapa musiknya tidak dimatikan? Apa musik mempengaruhi kualitas cairan vaksin?

Dan terakhir terkait kelompok pengkritik peristiwa tersebut. Menurut hemat saya bukanlah orang yang paham tentang metode seorang santri yang berstatus sebagai calon penghafal Al Qur'an ketika sementara menyelesaikan hafalannya. Karena sepengetahuan saya, seseorang yang sedang melakukan hafalan Al Qur'an memiliki cara dan pantangan yang harus dijaga, salah satunya mendengarkan musik atau hal lainnya untuk menjaga fokusnya.

Contoh kedua adalah stigma yang terbangun mengenai minoritas selalu menjadi bahan bullying mayoritas, seperti yang terjadi ketika pendapat seorang mantan pejuang HAM, Natalius Pigai yang juga belum terlalu lama ini. 

Kecerobohan menyimpulkan informasi yang kemudian menimbulkan frasa intoleransi dalam setiap argumen yang terlihat di setiap komentar para pengguna media sosial. Padahal bila dilihat dari konteks permasalahan, kejadian itu memiliki pokok pangkal yang panjang dan faktor hingga melahirkan argumen seperti yang dikeluarkan. Faktor lain adalah keberadaan tendensi politik yang berbuntut panjang, meskipun harus diakui bahwa argumen yang dikeluarkan begitu terlarang karena menyinggung isu sara dan ras.

Poin saya disini adalah sikap kritis dengan bentuk memverifikasi data, informasi adalah yang harus diperhatikan sehingga tidak memunculkan anggapan intoleransi kepada suatu informasi yang beredar dengan baik.

Sebab bagi saya, kebiasaan menanggapi sesuatu dengan ungkapan intoleransi di setiap informasi bukanlah hal yang baik untuk menyelesaikan problematika, akan tetapi bisa menjadi risiko lebih kepada memperluas wilayah perdebatan, dan risiko lain adalah terjadinya kemandekan dalam peningkatan mutu dalam berdebat dan berdemokrasi, terlebih kepada memperkuat stigmatisasi bahwa minoritas selalu mengalami penindasan. Risiko-risiko inilah yang tanpa disadari menjadi tali yang membelenggu kita dalam sebuah upaya mendewasakan masyarakat.


Semoga contoh peristiwa-peristiwa di atas kini menjadi pembelajaran bagi sebagian besar dari kita untuk tidak membangun opini negatif ketika menonton atau melihat sebelum mengetahui pokok pangkal dari sesuatu itu.

Sumber https://www.atomenulis.com/

Posting Komentar untuk "Diskusi Toleransi : Contoh dan Risiko Yang Ditanggung Jika Gagal Mencerna Informasi"