Wacana Guru Honorer : Nasib, Aspirasi dan Harapan
Kemarin Kamis, 25 November 2021 perayaan hari guru Nasional ya? Tentu itu hari yang harus dikenang dan dibanggakan sebagai bentuk apresiasi terhadap guru-guru atas atensinya terhadap pendidikan dan terkhusus anak-anak calon pemimpin bangsa Indonesia di masa depan. Namun entah kenapa, selepas dari membangun penghormatan secara batiniah di atas saya kemudian menemukan sebuah argumen di kepala yang terlihat begitu kritis hingga pada level sinis.
Argumen kritis yang dimaksudkan ialah saya secara pemikiran dan batin tidak begitu sependapat dengan seremonial-seremonial yang di lakukan, mungkin terkesan agak kolot, tapi hal semacam perayaan sekiranya perlu diubah polanya. Mungkin bisa dengan melakukan syukuran atau murid di ajak berziarah ke makam para guru-guru yang mendahului kita, sehingga para murid mendapatkan pengetahuan tentang moralitas dan pemahaman spritual.
Sekarang hari guru Nasional yang ke-76 kan? Seharusnya para guru bisa melakukan sebuah simposium nasional untuk membahas kondisi dan kualitas pendidikan yang sementara terjadi di lingkungan pendidikan, dan mungkin bisa membahas situasi pelik yang dihadapi guru honorer yang semakin hari tidak menemukan kejelasannya itu. Dengan demikian, setelah mendapatkan hasil simposiumnya, guru bersama murid nasional dapat merekomendasikan ke pemerintah untuk diproses lebih lanjut.
Kenapa harus melakukan hal-hal ribet itu? Karena seperti yang kita ketahui bahwa nasib 728.461 guru honorer yang menggantung tak jelas, dimana mereka menanti kabar yang sebenarnya tidak pasti. Terlebih sebagian besar dari mereka memiliki aspirasi agar diangkat sebagai pegawai negeri tapi jauh dari kata peluang, apalagi kata tercapai. Walaupun di antara mereka, ada yang telah 20 tahun mengabdi dan gaji yang diperoleh selama rentang waktu itupun tidak manusiawi. Sebab berjumlah, 250.00-300.000 perbulan dan terkadang dirapel per triwulan. Namun sekali lagi, pemerintah masih gagap memenuhi aspirasi itu
Kondisi mencekam ini setidaknya pernah di usut oleh Komnas HAM dan menemukan sejumlah temuan yang mengarah pada pelanggaran HAM yang telah disampaikan ke Pansus Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer DPD RI. Akan tetapi, pemerintah berargumen persoalan anggaran adalah alasan utama tidak dibukanya rekrutmen guru PNS. Sementara itu pada saat yang sama, proyek-proyek yang kurang urgen dan masih bisa ditunda, dan bahkan bisa dibatalkan malahan dipaksakan untuk dilaksanakan. Semisalnya seperti, Kereta Api Cepat JKT-BDG, pembangunan Ibu Kota Negara Baru dan Kartu Prakerja yang sebagian besar salah sasaran itu.
Kenyataan yang di pertontonkan oleh pemerintah inilah yang harus menjadi titik tolak kritis di momentum perayaan hari Guru ini. Yang jelas saat ini bukan hanya para guru honorer yang bertanya nasibnya, karena publik pun mulai berani mempertanyakan keberpihakan pemerintah pada nasib Guru Honorer, yang mulai dari lahir dan berdirinya bangsa ini, Guru telah menjadi pahlawan di garis depan pendidikan. Namun sayangnya aspirasinya diabaikan.
Argumen kritis yang dimaksudkan ialah saya secara pemikiran dan batin tidak begitu sependapat dengan seremonial-seremonial yang di lakukan, mungkin terkesan agak kolot, tapi hal semacam perayaan sekiranya perlu diubah polanya. Mungkin bisa dengan melakukan syukuran atau murid di ajak berziarah ke makam para guru-guru yang mendahului kita, sehingga para murid mendapatkan pengetahuan tentang moralitas dan pemahaman spritual.
Sekarang hari guru Nasional yang ke-76 kan? Seharusnya para guru bisa melakukan sebuah simposium nasional untuk membahas kondisi dan kualitas pendidikan yang sementara terjadi di lingkungan pendidikan, dan mungkin bisa membahas situasi pelik yang dihadapi guru honorer yang semakin hari tidak menemukan kejelasannya itu. Dengan demikian, setelah mendapatkan hasil simposiumnya, guru bersama murid nasional dapat merekomendasikan ke pemerintah untuk diproses lebih lanjut.
Kenapa harus melakukan hal-hal ribet itu? Karena seperti yang kita ketahui bahwa nasib 728.461 guru honorer yang menggantung tak jelas, dimana mereka menanti kabar yang sebenarnya tidak pasti. Terlebih sebagian besar dari mereka memiliki aspirasi agar diangkat sebagai pegawai negeri tapi jauh dari kata peluang, apalagi kata tercapai. Walaupun di antara mereka, ada yang telah 20 tahun mengabdi dan gaji yang diperoleh selama rentang waktu itupun tidak manusiawi. Sebab berjumlah, 250.00-300.000 perbulan dan terkadang dirapel per triwulan. Namun sekali lagi, pemerintah masih gagap memenuhi aspirasi itu
Kondisi mencekam ini setidaknya pernah di usut oleh Komnas HAM dan menemukan sejumlah temuan yang mengarah pada pelanggaran HAM yang telah disampaikan ke Pansus Guru dan Tenaga Kependidikan Honorer DPD RI. Akan tetapi, pemerintah berargumen persoalan anggaran adalah alasan utama tidak dibukanya rekrutmen guru PNS. Sementara itu pada saat yang sama, proyek-proyek yang kurang urgen dan masih bisa ditunda, dan bahkan bisa dibatalkan malahan dipaksakan untuk dilaksanakan. Semisalnya seperti, Kereta Api Cepat JKT-BDG, pembangunan Ibu Kota Negara Baru dan Kartu Prakerja yang sebagian besar salah sasaran itu.
Kenyataan yang di pertontonkan oleh pemerintah inilah yang harus menjadi titik tolak kritis di momentum perayaan hari Guru ini. Yang jelas saat ini bukan hanya para guru honorer yang bertanya nasibnya, karena publik pun mulai berani mempertanyakan keberpihakan pemerintah pada nasib Guru Honorer, yang mulai dari lahir dan berdirinya bangsa ini, Guru telah menjadi pahlawan di garis depan pendidikan. Namun sayangnya aspirasinya diabaikan.
Demikianlah kenyataan-kenyataan menyakitkan dan rumit yang dirasakan oleh guru-guru honorer di Indonesia.
Sumber https://www.atomenulis.com/
Posting Komentar untuk "Wacana Guru Honorer : Nasib, Aspirasi dan Harapan"